''Enak juga ya rasanya,'' ujar Barbara Scholz. Koordinator Program The
IB Foundation itu tengah mencicipi 'nasi' yang terbuat dari biji rumput
Hermada ketika Republika menyapanya di sela-sela acara ''Demo Budidaya
dan Olah Pascapanen Rumput Hermada'' di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
Cilandak Jakarta Rabu lalu.
Rumput Hermada? Mungkin anda belum kenal namanya. Memang rumput
ini bukan asli Indonesia. Rumput ini berasal dari Jepang dan Amerika. Sejak
tahun lalu rumput ini dikembangkan di Indonesia oleh PT Kharisma Promosindo
dengan ujicoba di lahan seluas 30 ha yang tersebar di Kabupaten Gunung
Kidul, Bantul dan Sleman.
Di Jepang sendiri, tanaman ini diambil malainya untuk bahan baku
sapu (salju). Karena di sini tak ada salju, maka sapu ini tentu saja bisa
dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti membersihkan lantai sebagaimana
sapu ijuk yang telah kita kenal selama ini. Itu kalau kita mau. Sebab,
faktanya, malai [baca: sapu salju] produksi Kharisma ini semuanya diekspor
ke Jepang dengan harga delapan dolar AS per unit. Sedangkan harga malai
di Indonesia saat ini Rp 6.000 per kg.
Jepang, menurut Direktur PT Kharisma Promosindo, Hennie Siswati,
masih membutuhkan sapu salju dalam jumlah yang besar. Seluruh malai yang
dihasilkan dari lahan seluas 30 ha, itu semuanya dikirim ke Jepang. ''Jika
masih ada lahan seluas 500 ha lagi, saya jamin semuanya akan bisa diekspor
ke Jepang,'' ujar Hennie. Bahkan pasar ini bisa mencapai 3.000 ha untuk
Eropa. Malai adalah hasil utama budidaya rumput Hermada.
Sebagaimana jenis rumput lain, rumput Hermada lebih cocok ditanam
di lahan kering. Rumput Hermada bisa dipanen sampai tiga kali. Panen pertama
dilakukan dalam jangka waktu 55 hari setelah tanam, dan panen berikutnya
setelah 45 hari kemudian.
Berbeda dengan di Jepang, di sini, tak hanya malai yang dimanfaatkan.
Daun dan bijinyapun bisa dimanfaatkan. Daunnya untuk makanan ternak dan
bijinya bisa digunakan sebagai pengganti beras. ''Kami tertarik mengembangkan
rumput ini karena manfaatnya yang multi fungsi,'' kata Hennie.
Rasa 'nasi' biji rumput Hermada memang tak beda jauh dengan nasi. Cuma
teksturnya agak liat dibanding nasi. Biji yang sudah tua [siap panen] berwarna
hitam dengan ukuran setengah dari ukuran gabah. Setelah diselep, bijinya
berwarna putih agak kemerahan. Biji yang sudah diselep ini harganya Rp
800 per kg. Bandingkan dengan beras yang saat ini harganya Rp 3.000-4.000
per kg.
Tak cuma itu, tepung biji rumput ini bisa diolah menjadi berbagai
jenis makanan dan bahan olahan. Tentu saja dengan kandungan gizi yang tak
kalah dengan beras (?). Hasil analisa dari Laboratorium Biokimia Nutrisi
UGM memperlihatkan kandungan gizi biji rumput Hermada sebagai berikut:
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Jenis Abu
Protein Kasar Lemak
Serat Kasar Karbohidrat --------------------------------------------------------------------------------------------------
Jepang 3,79
9,38
4,16
8,26
75
AS 3,35
11,27
5,19
8,53
72 --------------------------------------------------------------------------------------------------
Beras 2-5
4,0-5,0
1-2
8-15
70-80
Dari tabel tampak, biji Hermada punya kandungan protein dan lemak yang
jauh lebih tinggi dari beras. Inilah kelebihan terpenting Hermada dari
beras. Tujuan orang mengkonsumsi beras umumnya adalah untuk memenuhi kebutuhan
karbohidrat. Sementara dari Hermada, kita selain mendapatkan karbohidrat
juga bisa memperoleh protein dan lemak.
Tepung biji rumput Hermada bisa digunakan sebagai substitusi tepung
terigu. ''Bisa untuk substitusi tepung terigu sampai 50 persen,'' kata
Hennie. Tepung ini bernilai jual Rp 1.600 per kg. Harga ini jauh lebih
murah dibanding dengan harga tepung terigu yang saat ini sekitar Rp 3.000.
Temuan 'beras' baru ini asli Indonesia. Sebab belum ada satu negarapun,
termasuk Jepang yang mengembangkan biji rumput Hermada sebagai sumber pangan.
Pihak Kharisma sendiri kini tengah menunggu hak paten yang telah diajukannya
ke Departemen Kehakiman. Begitu pula dengan uji klinisnya. ''Dua pekan
mendatang hasil uji klinis itu sudah bisa kita ketahui,'' papar Hennie.
Ia menambahkan meski secara de facto biji rumput ini aman dimakan, tapi
secara de jure mesti dibuktikan dengan uji klinis dari Depkes, dalam hal
ini Ditjen POM.
Hasil uji klinis ini nantinya diharapkan semakin memperkuat posisi
biji rumput sebagai pengganti beras (?). Masyarakat tak akan segan mengkonsumsinya
karena sudah terbukti bergizi dan aman untuk kesehatan. Yang menjadi persoalan
sekarang bisakah kita mengubah kebiasaan lidah masyarakat Indonesia yang
sudah terlanjur akrab dengan nasinya? Butuh waktu untuk itu.
No comments:
Post a Comment
komment disini ya..